Komite Nasional Pemuda DPP KNPI Gugat Raksasa Perkebunan Musim Mas 288 Miliar

detik86.com PASAMAN BARAT – Ditengah upaya membela 4 masyarakat pemilik tanah ulayat di Muara Kiawai yang dijadikan Tersangka (per 10 Maret sudah di tahanan POLRES) atas suatu demonstrasi yang dilakukan diatas tanah perkebunan kelapa sawit milik masyarakat adat itu sendiri selama sebulan di kisaran Juli-Agustus 2020, Tim Hukum Dewan Pengurus Pusat Komite Nasional Pemuda Indonesia (DPP KNPI) pada tanggal 8 Maret 2021 telah mendaftarkan gugatan perdata melawan dua raksasa kelapa sawit, yaitu:

1. MUSIM MAS Group milik keluarga Bachtiar Karim, toke kelapa sawit terbesar dari Medan yang menjadi Pelapor (melalui anak usaha) dengan Laporan Polisi (LP) atas 4 (empat) orang pemilik tanah ulayat, dan
2. PROVIDENT AGRO, Tbk group raksasa perkebunan yang terafiliasi dengan SARATOGA group.

Gugatan sebesar 288 (dua ratus delapan puluh delapan) miliar kepada PT AGROWIRATAMA (MUSIM MAS Group) dan PT MUTIARA AGAM (PROVIDENT AGRO Group) itu didaftarkan tanggal 8 Maret 2021, bernomor perkara 7/Pdt.G/2021/PN Psb, dan saat ini sedang menunggu panggilan resmi dari Jurusita Pengadilan Negeri Pasaman Barat untuk sidang pertama.

Adapun gugatan senilai 288 miliar tersebut dilayangkan sebagai upaya hukum mendapatkan hak-hak pemilik tanah ulayat dari 4 (empat) kaum yaitu Datuk Sati; Datuk Batuah; Datuk Malenggang; Datuk Bonsu, di Muara Kiawai, Kabupaten Pasaman Barat, Sumatera Barat, atas penggunaan tanah ulayat mereka oleh perusahaan perkebunan sejak tahun 1991 seluas 320 hektar dengan dokumen-dokumen cacat hukum, dan juga tidak pernah mendapatkan hak mereka yaitu kebun plasma seluas 10% (sepuluh persen). Gugatan lainnya adalah agar perusahaan mengembalikan tanah ulayat mereka.

Pemerintah Pasaman Barat sebagai penerbit Izin Usaha Perkebunan (IUP) ditahun 2011, turut digugat tanggung renteng sebagai TERGUGAT III, karena sebagai penerbit IUP tidak melakukan fungsi kontrolnya sebagai Pemerintah atas IUP yang diberikan, sehingga MUSIM MAS group bisa beroperasi tanpa mempunyai hak atas tanah sesuai ketentuan hukum yang berlaku dan sesuai diktum keenam pada IUP nya itu sendiri yang secara tegas mengatakan IUP akan batal dengan sendirinya bila tidak mengurus Izin Atas Tanah (HGU) paling lama satu tahun sejak tanggal IUP diterbitkan. “Dan konsideran bagian Memperhatikan pada IUP bernomor 188.45/308/BUP-PASBAR/2011 yang terbit tanggal 19 Mei 2011 tersebut menggunakan Izin Lokasi yang sudah mati tahun 2004, artinya sudah mati 7 tahun itu Izin Lokasi. Bagaimana bisa dokumen yang daluwarsa menjadi acuan suatu produk hukum!” tegas Medya Risca Lubis, SH, MH sebagai Ketua Bidang Hukum DPP KNPI pimpinan Haris Pertama, SH.

Pada gugatan, disampaikan bahwa PT MUTIARA AGAM (Provident Agro, Tbk group) pada tahun 1991 mengikat diri bekerjasama dengan pemilik tanah ulayat di Muara Kiawai dengan sejumlah uang Siliah Jariah, untuk mendirikan suatu perkebunan kelapa sawit. Syarat utama kerjasama adalah 1) Pelepasan hak atas tanah dilakukan sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku (untuk proses penerbitan Hak Guna Usaha); dan 2) kewajiban Perusahaan mengelola kebun plasma untuk pemilik tanah ulayat seluas 10% dari kebun inti. Bukannya mendirikan kebun plasma 10% dari luas kebun inti dan urus HGU sesuai kesepakatan, PT MUTIARA AGAM pada 30 Maret 1994, tanpa hak atas tanah HGU, menjual tanah ulayat seluas 3.100 hektar kepada PT AGROWIRATAMA senilai Rp. 2.084.580.000,- (dua miliar delapan puluh empat juta lima ratus delapan puluh ribu rupiah), dimana 700 hektarnya telah ditanami perkebunan kelapa sawit. Pada PERJANJIAN JUAL BELI nomor 01/MA.AWR/III/1994 tertulis bahwa PT MUTIARA AGAM mengaku sebagai Pemilik tanah dan menjualnya kepada PT AGROWIRATAMA.

Jubir, SH (advokat) anggota Tim Hukum yang mendaftarkan gugatan mengatakan bahwa jual beli tanah yang bukan miliknya tersebut sangat patut diduga merupakan tindak pidana sesuai KUHP Pasal 385. “Tidak pernah ada perusahaan yang dapat menjual-belikan tanah ulayat milik masyarakat adat di tanah Minang. Siliah Jariah untuk perkebunan, itu selalu dalam konteks uang sewa manfaat atas tanah milik masyarakat adat yang ditanami kelapa sawit untuk satu kali tanam. Perusahaan bisa jual beli HGU, ya…. itu bisa…tapi tanah ulayat tanpa HGU? Itu perampasan hak dasar manusia menurut pandangan hukum kami! Kami segera melaporkan hal ini juga kepada KOMNAS HAM!” tegas Jubir.

PELANGGARAN PERKEBUNAN DI HUTAN LINDUNG di SP3

DPP KNPI juga akan bersurat untuk meminta agar Direktorat Jenderal Pajak segera memeriksa hasil panen yang dinikmati MUSIM MAS sejak 25 tahun terakhir dari kebun kelapa sawit yang berlokasi di Hutan Lindung di Muara Kiawai seluas kira-kira 70 hektar (hasil telusur UPTD KPHL Pasaman Raya). Kebun sawit di Hutan Lindung itu telah dipanen kira-kira sejak tahun 1995, sesuai kesaksian pekerja senior di perkebunan itu sampaikan kepada Tim Kuasa Hukum.
“Klien kami telah melaporkan perkara hasil panen dari hutan lindung ini di POLDA Sumatera Barat tanggal 8 September 2020 karena laporan tentang hutan lindung yang dilaporkan di bulan Agustus 2020 mandeg di POLRES Pasaman Barat. Untuk menjadi catatan publik dan Pemerintah, salah satu alasan penutupan jalan milik masyarakat adat yang membuat mereka ada di penjara saat ini adalah tentang pelanggaran Hutan Lindung dan sudah nyata memang benar ada Perkebunan dan panen di area Hutan Lindung selama 25 tahun. Tapi ya gitu, POLDA SUMBAR memberhentikan penyelidikannya (SP3 No S.Tap/01,a/II/RES.5.5/2021/Ditreskrimsus tanggal 2 Februari 2021) dengan alasan tidak ada niat jahat yang ditemukan atas pelanggaran tersebut. Kalau tidak ada MENS REA, ya uang hasil panennya dikembalikan ke negara, dong? Itu total sekitar 30 miliar boss harga buah sawit sekarang! Logikanya kalau tidak ada niat jahat kan seperti itu. Dikembalikan ke negara hasil panen dari Hutan Lindung tersebut!” tegas Jubir yang juga Ketua Bidang Pertanahan di DPP KNPI.

PEMILIKI TANAH ULAYAT DITAHANAN POLRES PASAMAN BARAT

Saat ini 4 Tersangka yang merupakan bagian dari pemilik tanah ulayat, 3 diantaranya ditahan di POLRES Pasaman Barat sambil menunggu P21. Satu tersangka sedang dalam kondisi sakit, karena stress akan ancaman penjara atas aksi BELA NEGARA yang diikutinya. Padahal, Kasat Reskrim sudah mengkomunikasikan kepada anggota Tim Hukum, Arief Parhusip, pada pertemuan di ruangan Kasat Reskrim pada tanggal 3 Maret 2021 bahwa POLRES tidak akan melakukan penahanan dan akan langsung melimpahkan berkas alat bukti dan Tersangka ke Kejaksaan bila masyarakat datang dengan sadar dan baik-baik, dan mereka bertiga datang sendiri. Namun sepertinya kebijakan tersebut berubah setelah adanya gugatan yang dilayangkan oleh tim kuasa hukum pada tanggal 8 Maret 2021. Tim Hukum akan meminta Penangguhan Penahanan ke KAPOLRES Pasaman Barat besok pagi, 12 Maret 2021.

KNPI melihat pada kasus ini polisi tajam ke bawah (masyarakat adat), dan tumpul ke atas (perusahaan). Padahal sudah jelas IUP yang dibuat berdasarkan Izin Lokasi daluwarsa/verjaring, dan sesuai diktum keenam pada IUP tersebut, seharusnya izin tersebut sudah daluarsa dengan sendirinya pada 20 Mei 2012 karena tidak mempunyai HGU satu tahun sejak tanggal IUP diterbitkan (diktum keenam). Namun faktanya LP mengenai pelanggaran hak di perkebunan serta pengaduan tentang pelanggaran Hutan Lindung dari warga malah di SP3 sedangkan LP dari MUSIM MAS group terhadap warga yang menuntut hak dan informasi tentang pelanggaran Hutan Lindung malah ditahan. Hal mana sangat bertentangan dengan misi KAPOLRI untuk pukul habis mafia tanah, dan hukum tidak lagi tumpul keatas tajam kebawah.

 

Jika Anda punya informasi kejadian/peristiwa/rilis atau ingin berbagi foto? Silakan SMS ke 0852 7423 6663 (mohon dilampirkan data diri Anda) Hubungin kami

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*